MERANTI ONLINE -- Presiden Direktur PT Cirebon Power Heru Dewanto mengatakan, di tengah-tengah upaya untuk memberikan akses pada listrik murah kepada seluruh masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia, pertumbuhan investasi sektor kelistrikan masih terkendala oleh berbagai faktor, salah satunya adalah regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Pemerintah melakukan beberapa amandemen regulasi, namun di saat yang sama, pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang baru yang membuat pelaku industri kebingungan dan terus menyesuaikan strategi bisnisnya,” kata Heru pada Konferensi Coaltrans di Denpasar, awal kepan ini, Senin (7/5/2018).
Pemerintah saat ini, lanjut Heru, memang tengah melakukan beberapa simplifikasi aturan mengenai kelistrikan untuk mendorong investasi. Awal tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyederhanakan 11 Keputusan Menteri bidang kelistrikan yang selama ini dianggap menghambat investasi.
“Namun demikian, pada saat yang sama, pemerintah menerbitkan beberapa regulasi baru yang justru membingungkan industri. Sepanjang tahun 2017 saja, pemerintah mengeluarkan 40 kebijakan baru. Apabila kita berkomitmen untuk memberikan akses listrik yang terjangkau kepada masyarakat, pemerintah seharusnya memberikan dukungan penuh dan mendukung iklim investasi kelistrikan bagi para pengembang,” ujar Wakil Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Selain Peraturan Menteri, kata dia, perubahan regulasi dari pemerintah juga tercermin pada perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Kerja (RUPTL) 2017-2026, menjadi RUPTL 2018-2027 hanya dalam satu tahun. Perubahan ini membuat pelaku industri harus kembali menyesuaikan strategi bisnis mereka. Heru menambahkan, perubahan ini dilakukan dengan perhitungan yang cermat sehingga tidak terjadi lagi perubahan secara cepat di tahun depan.
Heru juga menyoroti di luar persoalan regulasi, dimana tidak adanya Independent Regulatory Body yang harus mengawasi persaingan antara otoritas pemerintah dan Independent Power Producers (IPP). Selama ini, pemerintah membuka kesempatan pihak swasta untuk ikut dalam menyediakan listrik kepada masyarakat.
“Selain untuk menambah pendanaan dari swasta di sektor kelistrikan, keterlibatan swasta ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing. Namun, ujar Heru, daya saing itu belum sepenuhnya berjalan karena tidak adanya satu badan yang mengawasi industri ini,” ujarnya.
Sektor kelistrikan, jelasnya, merupakan salah satu sektor yang sangat menjanjikan di tengah-tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang tengah dikebut oleh pemerintah. Namun, banyaknya proyek infrastruktur berbanding terbalik dengan jumlah insinyur di Indonesia saat ini.
“Indonesia berpotensi kekurangan 280 ribu insinyur dalam 5 tahun ke depan, dan berpeluang kekurangan 650 ribu insinyur dalam 10 tahun ke depan. Ini adalah persoalan lain yang dihadapi sektor kelistrikan selain persoalan yang berkaitan dengan regulasi,” kata Heru.
“Ketika kesempatan di depan mata, kita masih berkutat pada masalah SDM, khususnya jumlah insinyur. Saat ini, jumlah mahasiswa teknik hanya 14% dari jumlah seluruh mahasiswa di Indonesia. Dari jumlah itu, 50% belajar teknik komputer. Tapi dari 50% itu, setengahnya tidak bekerja di sektor keinsinyuran. Artinya, lulusan teknik yang bekerja di bidang keinsinyuran hanya 3,5%,” tambah Heru.
Sekedar diketahui, Coaltrans merupakan sebuah forum yang mempertemukan seluruh pelaku industri batubara sedunia untuk saling berbagi ide, pengetahuan, dan pengalaman, serta memperluas jaringan bisnis. (sumber)
“Pemerintah melakukan beberapa amandemen regulasi, namun di saat yang sama, pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang baru yang membuat pelaku industri kebingungan dan terus menyesuaikan strategi bisnisnya,” kata Heru pada Konferensi Coaltrans di Denpasar, awal kepan ini, Senin (7/5/2018).
Pemerintah saat ini, lanjut Heru, memang tengah melakukan beberapa simplifikasi aturan mengenai kelistrikan untuk mendorong investasi. Awal tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyederhanakan 11 Keputusan Menteri bidang kelistrikan yang selama ini dianggap menghambat investasi.
“Namun demikian, pada saat yang sama, pemerintah menerbitkan beberapa regulasi baru yang justru membingungkan industri. Sepanjang tahun 2017 saja, pemerintah mengeluarkan 40 kebijakan baru. Apabila kita berkomitmen untuk memberikan akses listrik yang terjangkau kepada masyarakat, pemerintah seharusnya memberikan dukungan penuh dan mendukung iklim investasi kelistrikan bagi para pengembang,” ujar Wakil Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Selain Peraturan Menteri, kata dia, perubahan regulasi dari pemerintah juga tercermin pada perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Kerja (RUPTL) 2017-2026, menjadi RUPTL 2018-2027 hanya dalam satu tahun. Perubahan ini membuat pelaku industri harus kembali menyesuaikan strategi bisnis mereka. Heru menambahkan, perubahan ini dilakukan dengan perhitungan yang cermat sehingga tidak terjadi lagi perubahan secara cepat di tahun depan.
Heru juga menyoroti di luar persoalan regulasi, dimana tidak adanya Independent Regulatory Body yang harus mengawasi persaingan antara otoritas pemerintah dan Independent Power Producers (IPP). Selama ini, pemerintah membuka kesempatan pihak swasta untuk ikut dalam menyediakan listrik kepada masyarakat.
“Selain untuk menambah pendanaan dari swasta di sektor kelistrikan, keterlibatan swasta ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing. Namun, ujar Heru, daya saing itu belum sepenuhnya berjalan karena tidak adanya satu badan yang mengawasi industri ini,” ujarnya.
Sektor kelistrikan, jelasnya, merupakan salah satu sektor yang sangat menjanjikan di tengah-tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang tengah dikebut oleh pemerintah. Namun, banyaknya proyek infrastruktur berbanding terbalik dengan jumlah insinyur di Indonesia saat ini.
“Indonesia berpotensi kekurangan 280 ribu insinyur dalam 5 tahun ke depan, dan berpeluang kekurangan 650 ribu insinyur dalam 10 tahun ke depan. Ini adalah persoalan lain yang dihadapi sektor kelistrikan selain persoalan yang berkaitan dengan regulasi,” kata Heru.
“Ketika kesempatan di depan mata, kita masih berkutat pada masalah SDM, khususnya jumlah insinyur. Saat ini, jumlah mahasiswa teknik hanya 14% dari jumlah seluruh mahasiswa di Indonesia. Dari jumlah itu, 50% belajar teknik komputer. Tapi dari 50% itu, setengahnya tidak bekerja di sektor keinsinyuran. Artinya, lulusan teknik yang bekerja di bidang keinsinyuran hanya 3,5%,” tambah Heru.
Sekedar diketahui, Coaltrans merupakan sebuah forum yang mempertemukan seluruh pelaku industri batubara sedunia untuk saling berbagi ide, pengetahuan, dan pengalaman, serta memperluas jaringan bisnis. (sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar