Di belahan utara benua Afrika, Republik Arab Sahrawi Demokratik terus bertahan di tengah statusnya sebagai wilayah yang disengketakan, sementara di Asia Tenggara, komunitas Rohingya masih terjebak dalam lingkaran pengungsian dan diskriminasi. Meski berbeda benua, kedua komunitas ini memiliki nasib politik yang serupa: hidup di negeri tanpa kepastian status dan hak penuh atas tanah airnya. Seperti Sahrawi yang memperjuangkan kemerdekaan dari Maroko, Rohingya menghadapi represi dari negara yang seharusnya menaungi mereka.
Republik Sahrawi secara de jure pernah diakui oleh lebih dari 80 negara, namun secara de facto masih berada di bawah cengkeraman Maroko. Di sisi lain, Rohingya bahkan belum memiliki pemerintahan diaspora formal, apalagi pengakuan internasional. Sejak diusir dari Rakhine State akibat operasi militer Myanmar tahun 2017, ratusan ribu Rohingya terdampar di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh, tanpa kejelasan kapan bisa kembali ke tanah leluhur mereka.
Yang membuat posisi Rohingya kini makin sulit, wilayah Rakhine saat ini dikendalikan oleh kelompok bersenjata Arakan Army (AA), yang dalam sejarahnya pernah terlibat dalam serangan terhadap komunitas Rohingya. AA kini menjadi kekuatan militer dominan di Rakhine, mengalahkan pasukan junta dan merebut kendali atas beberapa kota strategis. Ironisnya, kelompok ini juga menolak keberadaan Rohingya dan menutup pintu rekonsiliasi bagi mereka yang terusir.
Di sisi politik Myanmar, pemerintahan militer junta masih mempertahankan kekuasaannya di pusat negara dengan kekerasan, sementara kelompok oposisi National Unity Government (NUG) yang diakui sebagian negara demokrasi juga belum mampu mengendalikan Rakhine atau menjanjikan tempat aman bagi Rohingya. NUG bahkan belum punya peta jalan jelas soal hak-hak minoritas etnis, termasuk Rohingya, dalam visi Myanmar baru yang mereka gembar-gemborkan.
Jika Rohingya di pengungsian ingin mendirikan semacam "pemerintahan pengasingan" layaknya Sahrawi atau Palestina, tantangan utamanya adalah ketiadaan wilayah yang bisa mereka klaim atau kuasai secara fisik. Di Rakhine, AA tak mungkin memberi ruang bagi gerakan seperti itu. Di Bangladesh, pemerintah juga melarang segala bentuk aktivitas politik Rohingya di kamp pengungsian Cox's Bazar, meski para pengungsi terus menyuarakan keinginan kembali ke rumah.
Berbeda dengan Sahrawi yang memiliki wilayah kecil di kamp-kamp pengungsian Tindouf, Aljazair, Rohingya tak punya 'wilayah aman' yang bisa dijadikan basis politik. Dukungan internasional pun masih sangat terbatas dan lebih berfokus pada isu kemanusiaan ketimbang hak politik atau otonomi wilayah. PBB hingga kini hanya mendorong repatriasi sukarela tanpa pernah memfasilitasi wacana otonomi atau pemerintahan mandiri bagi Rohingya di Rakhine.
Di tataran militer, Rohingya nyaris tak memiliki kekuatan tempur yang bisa dijadikan alat tawar dalam politik kawasan. Beberapa kelompok bersenjata Rohingya kecil seperti Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dianggap lebih sebagai ancaman keamanan oleh negara-negara tetangga ketimbang representasi perjuangan politik. Berbeda jauh dengan Sahrawi yang memiliki tentara POLISARIO aktif di wilayah perbatasan Sahara.
AA kini mengontrol sebagian besar wilayah Rakhine utara dan barat, termasuk akses ke pelabuhan dan jalur perdagangan penting ke Bangladesh dan India. Wilayah yang dulunya dihuni Rohingya kini berubah fungsi jadi kawasan militer atau pusat logistik AA, sementara para pengungsi dipaksa bertahan di kamp-kamp pengungsian tanpa hak kembali. Peluang Rohingya untuk mengibarkan bendera mereka sendiri di Rakhine hampir mustahil dalam situasi ini.
Sementara itu, junta Myanmar meski terdesak di beberapa front masih mempertahankan kekuatan di Naypyidaw dan beberapa kota besar. Junta pun memanfaatkan konflik antara AA dan kelompok lain untuk melemahkan oposisi. Pemerintahan paralel NUG juga sibuk membangun koalisi antar-etnis lain, tanpa memberi kejelasan peran Rohingya dalam masa depan Myanmar yang mereka cita-citakan.
Andai pun Rohingya membentuk pemerintahan diaspora atau gerakan otonomi, tanpa dukungan negara kuat atau blok regional seperti Uni Afrika bagi Sahrawi, peluangnya untuk mendapat pengakuan atau legitimasi sangat tipis. ASEAN selama ini cenderung menghindari isu Rohingya sebagai masalah politik dan membatasinya dalam isu pengungsi dan kemanusiaan.
Di mata geopolitik, kawasan Rakhine memiliki nilai strategis karena menjadi jalur perdagangan minyak dan gas dari Myanmar ke Tiongkok melalui pelabuhan Kyaukphyu. Faktor ini membuat banyak negara enggan berpihak pada Rohingya, karena takut mengganggu kepentingan ekonomi di kawasan tersebut. Situasi yang serupa dengan kawasan Sahara Barat yang kaya fosfat dan perikanan, membuat status Sahrawi terus diabaikan oleh negara-negara besar.
Langkah nyata yang mungkin bisa ditempuh Rohingya adalah memperluas advokasi di tingkat internasional, membentuk pemerintahan diaspora, serta berkoalisi dengan kelompok minoritas Myanmar lain yang juga tertindas. Namun, tanpa wilayah atau kekuatan militer, upaya ini akan sulit meyakinkan negara lain untuk memberi pengakuan.
Sementara Republik Sahrawi setidaknya bisa duduk di forum Uni Afrika dan mengirim delegasi ke sidang PBB meski tanpa kursi tetap, Rohingya belum punya struktur politik diaspora yang kuat untuk menjadi suara resmi komunitas mereka di luar negeri. Kesempatan membangun itu masih ada, tapi waktu dan keadaan terus mempersempit ruang gerak.
Perjuangan Rohingya seolah berjalan dalam lorong gelap tanpa pintu keluar. Jika situasi di Myanmar tidak berubah drastis, dan komunitas internasional tak mau mengambil risiko politik, peluang Rohingya untuk mendapat otonomi di Rakhine hampir mustahil. Seperti Sahrawi yang bertahan puluhan tahun tanpa solusi pasti, Rohingya pun tampaknya akan terus terombang-ambing dalam status tanpa negara, tanpa tanah, tanpa hak penuh di negeri asal mereka.
Dalam politik internasional, eksistensi suatu bangsa sering kali ditentukan bukan oleh moralitas, tapi oleh kekuatan dan kepentingan. Sejauh ini, baik Rohingya maupun Sahrawi masih berada di sisi sejarah yang diabaikan, dihimpit kompromi politik negara-negara kuat dan ketidakpedulian regional. Nasib keduanya, setidaknya untuk saat ini, masih terikat dalam lingkaran ketidakadilan yang tak kunjung selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar