Di berbagai kota dan desa Suriah, pemandangan bangunan sekolah yang tinggal tiang-tiang kokoh namun terbengkalai menjadi keluhan utama warga. Padahal, pada masa perang beberapa tahun lalu, kreativitas masyarakat sempat menjadi penyelamat. Dari kain terpal, kayu bekas, hingga puing-puing bangunan, mereka mampu mendirikan sekolah darurat agar anak-anak tetap belajar. Kini, ketika konflik mereda, semangat itu seakan meredup.
Banyak orang bertanya, mengapa masyarakat Suriah yang dulu penuh inovasi kini tampak pasif. Bangunan yang masih bisa digunakan justru dibiarkan kotor, berdebu, bahkan ditumbuhi ilalang. Kritik pun bermunculan bahwa warga lebih suka mengeluh ketimbang berinisiatif mencari solusi. Fenomena ini memunculkan diskusi panjang tentang perubahan pola pikir setelah lebih dari satu dekade konflik.
Pada masa-masa sulit antara 2012 hingga 2016, kondisi benar-benar mendesak. Bom, pengungsian, dan kelangkaan fasilitas membuat warga sadar bahwa jika mereka tidak bertindak, anak-anak akan kehilangan masa depan. Dari keterpaksaan lahirlah kreativitas. Sekolah-sekolah darurat berdiri dari kain terpal sumbangan organisasi kemanusiaan atau bahkan kain bekas yang dijahit warga.
Situasi itu juga menciptakan solidaritas. Warga yang berbeda latar belakang bersatu mendirikan kelas darurat. Ada yang menyumbang papan tulis, ada yang menyediakan kursi kayu seadanya. Semua dilakukan dengan kesadaran bahwa pendidikan tidak boleh berhenti, meski pelajaran berlangsung di bawah tenda atau di antara reruntuhan bangunan.
Namun setelah perang mereda di banyak wilayah, keadaan berubah. Kelelahan sosial yang menumpuk membuat masyarakat kehilangan energi untuk terus berinisiatif. Satu dekade penuh penderitaan membuat banyak keluarga kini lebih fokus bertahan hidup secara individual. Energi kolektif yang dulu kuat, kini melemah.
Selain itu, faktor ekonomi menjadi kendala utama. Harga semen, kayu, dan besi di Suriah melonjak tajam akibat inflasi. Bahkan sekadar membeli terpal baru tidak semudah dulu ketika lembaga internasional rutin mendistribusikan bantuan. Dengan pendapatan keluarga yang rata-rata hanya cukup untuk makan, membangun atau membersihkan sekolah tidak lagi dianggap prioritas.
Masalah lain adalah perubahan pola bantuan. Dulu, ratusan organisasi internasional hadir dengan program sekolah darurat. Kini, bantuan banyak dialihkan ke wilayah lain atau berhenti total karena dunia menganggap perang Suriah sudah “selesai.” Tanpa dorongan dan material dari luar, warga cenderung menunggu kebijakan pemerintah.
Rasa kepemilikan terhadap fasilitas publik juga ikut memudar. Banyak warga beranggapan bahwa sekolah adalah milik negara, sehingga perbaikan atau pembersihan bukan urusan mereka. Mentalitas ini membuat bangunan dibiarkan terbengkalai meski tiangnya masih kokoh. “Kalau pemerintah mau, mereka yang harus memperbaiki,” begitu kata seorang warga di pinggiran Homs.
Selain itu, kebutuhan masyarakat kini lebih mendesak pada aspek ekonomi. Orang tua banyak yang memprioritaskan mencari nafkah, listrik, dan obat-obatan ketimbang gotong royong memperbaiki sekolah. Pendidikan, yang dulu dianggap jalan keluar dari keterpurukan, kini tergeser oleh kebutuhan bertahan hari demi hari.
Para sosiolog menyebut fenomena ini sebagai pergeseran dari “mentalitas darurat” ke “mentalitas pasca-konflik.” Pada masa darurat, kreativitas tumbuh karena tidak ada pilihan lain. Setelah situasi tenang, masyarakat kembali menempatkan tanggung jawab utama pada pemerintah dan lembaga resmi.
Di sisi lain, beberapa tokoh lokal menilai masih ada harapan. Mereka menyebut, jika ada koordinasi komunitas dan sedikit dukungan material, semangat swadaya bisa bangkit lagi. Beberapa desa kecil di Idlib dan Aleppo bahkan sudah mulai membersihkan sekolah secara mandiri, walau dengan peralatan sederhana.
Kisah di desa Kafr Takharim, misalnya, menunjukkan masih adanya energi kolektif. Warga bersama-sama mengecat dinding, memperbaiki meja, dan menggunakan papan tulis lama. “Kami tidak bisa menunggu terus, anak-anak butuh belajar sekarang,” ujar seorang relawan guru. Kisah semacam ini membuktikan bahwa masalah utama adalah koordinasi dan dorongan, bukan sepenuhnya hilangnya kepedulian.
Namun secara umum, di kota-kota besar, rasa pasrah lebih dominan. Banyak keluarga yang berkata mereka terlalu lelah dan miskin untuk memikirkan pembersihan sekolah. Bahkan jika ruang kelas masih berdiri, tanpa dukungan fasilitas resmi, mereka lebih memilih menyekolahkan anak hanya jika ada lembaga yang mengurus.
Psikolog Suriah menilai kelelahan emosional juga berperan. Perang panjang membuat trauma berkepanjangan. Semangat yang dulu muncul dari keterpaksaan kini digantikan rasa apatis. Trauma kolektif ini butuh waktu lama untuk pulih, dan tanpa program pemulihan sosial, sulit membangkitkan kembali daya juang komunitas.
Faktor politik juga tidak bisa dilepaskan. Banyak warga merasa tidak ada gunanya berinisiatif karena pada akhirnya fasilitas publik dianggap “dimiliki” oleh pemerintah pusat. Rasa keterasingan dari negara membuat inisiatif warga berhenti di level keluarga, bukan komunitas luas.
Akibatnya, banyak sekolah berdiri setengah hancur tanpa disentuh. Anak-anak pun harus belajar dalam kondisi seadanya atau bahkan berhenti sama sekali. Generasi baru Suriah terancam kehilangan hak pendidikan yang dulu diperjuangkan mati-matian oleh orang tua mereka di masa perang.
Para pengamat menilai, jika kondisi ini dibiarkan, maka Suriah bisa menghadapi masalah sosial lebih besar di masa depan. Generasi tanpa pendidikan akan semakin memperburuk krisis ekonomi dan memperpanjang lingkaran kemiskinan.
Harapan masih ada jika ada upaya rekonstruksi yang melibatkan warga. Kuncinya adalah mengembalikan rasa kepemilikan terhadap fasilitas publik. Dengan dorongan kecil—baik berupa material, pelatihan, atau sekadar pengakuan peran masyarakat—sekolah-sekolah bisa kembali hidup meski sederhana.
Kisah inovasi dari kain terpal dan kayu di masa perang membuktikan bahwa masyarakat Suriah punya daya juang luar biasa. Yang dibutuhkan kini bukan sekadar dana besar, melainkan semangat kolektif untuk kembali percaya bahwa solusi ada di tangan mereka. Tanpa itu, bangunan kokoh akan terus menjadi monumen bisu dari hilangnya semangat swadaya.
Baca selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar